Langsung ke konten utama

"Lalala Yeyeye" AFI 2013



Pencarian buku di Gramedia pada Minggu sore (15/9/2013) akhirnya berakhir dengan menonton sebuah pertunjukkan musik. Sebuah mini konser sedang berlangsung pada sore itu. Penasaran dengan isinya saya pun membelokkan langkah menuju panggung. Gagal mendapatkan pandangan di lantai 1 saya menuju lantai 2 seperti  penonton kelas tribun.

Dari lantai 2 saya terkejut melihat banyaknya penonton di lantai 1 yang mengerumuni panggung. Sementara di lantai 2 hingga 4 beberapa pengunjung juga berdiri melongok ke bawah. Sebenarnya saya tidak heran dengan euforia semacam ini. Pengalaman menonton sejumlah konser di beberapa kota membuat saya tahu jika masyarakat Indonesia memang suka menonton konser. Tapi ini adalah pertama kalinya saya melihat sebuah panggung kompetisi bernyanyi secara live di tempat umum. Lebih dari itu panggung yang saya tonton ini adalah sebuah ajang yang sudah lama “mati” namun saat hidup kembali ternyata masih diminati.



Ratusan orang berdesakkan menghadap sebuah panggung kecil penuh lampu. Di atas panggung ada seperangkat alat musik lengkap dengan pemainnya. Panggung bernuansa merah, kuning dan oranye itu tampak menonjol di tengah keramaian dengan dua buah logo huruf “A” berukuran besar. Sementara para penonton telah siap dengan sejumlah spanduk dan papan dukungan yang bertuliskan sebuah nama. Ada juga yang menyiapkan tab dan mengarahkannya ke panggung. Tak lama kemudian musik dimainkan secara live. Sebuah intrumentasi menghentak diiringi permainan lampu. Irama dan nadanya tak asing bagi banyak orang. Seketika suasana panggung berubah layaknya pertunjukkan musik yang biasa kita jumpai di televisi.







Bagi banyak remaja dan anak muda, panggung dan sorot lampu ini adalah pintu yang menawarkan jalan meraih mimpi, menuju puncak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk