Langsung ke konten utama

Malang, Museum Musik Indonesia, dan Cinta Sudah Lewat

Sabtu (17/12/2016) siang itu langkah kaki saya tiba di Gedung Kesenian Gajayana di Jalan Nusakambangan, Kota Malang. Kesibukan terlihat di lantai 1 karena sedang berlangsung persiapan pesta resepsi pernikahan yang tinggal beberapa jam lagi dilaksanakan. Beruntung tamu undangan belum berdatangan sehingga saya bisa menerobos celah kain yang membatasi ruangan pesta. 
Sepenggal jejak warisan musik Indonesia di Malang (dok. Hendra Wardhana).
Melewati ruangan tersebut saya lalu menuju ruangan lain di lantai 2 dengan menaiki tangga. Tak banyak anak tangga yang harus ditapaki. Ruangannya pun berada tepat di ujung anak tangga terakhir. Meski saat itu pintunya terbuka tapi tak terdengar suara aktivitas di sana. Sepi dan sempat membuat saya menunda keinginan untuk bertamu. Tapi rasa penasaran menuntun saya masuk dan segera mendapati betapa istimewanya ruangan tersebut. Saya berada di Museum Musik Indonesia (MMI).

Koleksi piringan hitam langsung menyambut di muka pintu. Semua terpajang rapi pada rak yang terpasang di dinding. Melihatnya saya bertambah antusias sehingga berani masuk lebih dalam meski belum mendapat izin. Saat pandangan saya menyapu seisi ruangan, ada banyak sekali piringan hitam, kaset, CD, dan dokumentasi lainnya. Di salah satu bagian dindingnya terpampang potret Chrisye berukuran besar.

Tak lama kemudian seorang laki-laki keluar dari sebuah ruangan di dalam museum. Saya memperkenalkan diri dan disambut dengan ramah. Beliau adalah penjaga museum yang membantu pengelolaan museum sehari-hari. Sayangnya saya lupa nama beliau yang sudah baik hati menerima saya. Beruntung rekaman dan catatan perbincangan dengannya masih tersimpan. Dari penuturan beliau saya pun mendapatkan cerita tentang Museum Musik Indonesia.

Saat ini Museum Musik Indonesia merupakan satu-satunya museum musik di tanah air. Meski baru dibuka di Gedung Kesenian Gajayana pada 19 November 2016, sejarah MMI ternyata cukup panjang. “Awalnya adalah Galeri Malang Bernyanyi yang berdiri 2009. Tapi cikal bakalnya dari Komunitas Pecinta Kajoetangan (Kayutangan) sejak 1970-an”, kata sang bapak menjelaskan embrio MMI. Kayu tangan sendiri dikenal sebagai daerah tempat berkumpulnya para pegiat seni di Malang tempo dulu. Hari itu saya pun sempat melewati Kayutangan saat berkeliling Malang.

Galeri Malang Bernyanyi kemudian bertransformasi menjadi Museum Musik Indonesia pada 2015. Pemerintah Kota Malang lalu memberi bantuan dengan mengizinkan untuk menggunakan ruangan di Gedung Kesenian Gajayana yang saat ini ditempati.
Museum Musik Indonesia di Kota Malang (dok. Hendra Wardhana).
Piringan hitam dari berbagai negara di depan pintu masuk (dok. Hendra Wardhana).
Lemari berisi ribuan koleksi piringan hitam, kaset, CD musik yang sebagian besar berumur lawas (dok. Hendra Wardhana).
Ada lebih dari 17 ribu koleksi tersimpan di MMI yang sebagian besar berupa piringan hitam, kaset, dan CD. Genrenya pun beragam mulai dari pop, rock, jazz, latin, lagu-lagu daerah, dan lain sebagainya. Sekitar 80% dari seluruh koleksi tersebut dikumpulkan dari sumbangan para pecinta musik dan kolektor, baik dari Malang maupun luar Malang. Sebanyak 60-70% koleksi merupakan karya musisi Indonesia dan sisanya dari penyanyi-penyanyi luar negeri, mulai dari Eropa hingga Amerika Latin. Mungkin ada lebih dari 100 negara yang namanya tercatat dalam inventaris koleksi MMI.

Beberapa koleksi yang ada tergolong cukup langka dan sangat bernilai. Seperti kaset dari tahun 1950-an dan piringan hitam dari tahun 1924. Semua koleksi berada dalam kondisi baik karena pengelola selalu memeriksa setiap menerima sumbangan. 
Koleksi majalah lawas tentang musik, seni, dan hiburan (dok. Hendra Wardhana).

Kaset lawas dari sejumlah penyanyi yang sebagian masih eksis hingga kini (dok. Hendra Wardhana)

Kaste lawas album Yovie Widianto (dok. Hendra Wardhana).
Tak sekadar menjadi ruang penyimpangan koleksi musik lawas, MMI juga mengambil peran dalam upaya edukasi dan pelestarian musik Indonesia. Oleh karena itu, MMI membuka pintu lebar-lebar kepada siapapun yang ingin mengenal sejarah dan mempelajari perjalanan musik di tanah air. Tidak perlu membayar tiket masuk dan MMI tidak mengenal hari libur kecuali pada saat-saat tertentu.

Bukan hanya dari komunitas pecinta musik, mereka yang selama ini berkunjung ke MMI berasal dari banyak kalangan seperti mahasiswa, peneliti, hingga artis kenamaan. “Ian Antono sering datang karena dia pembina museum ini”, kata sang bapak lagi. Kemudian saat nama-nama lain seperti Bens Leo dan Yockie Suryoprayogo disebutkan saya segera mengerti bahwa meski belum familiar di mata masyarakat umum, MMI atau Galeri Malang Bernyanyi rupanya sudah lama mendapat tempat di kalangan pemerhati dan musisi  kawakan Indonesia. MMI bahkan pernah bekerja sama dengan Lokananta yang ada di Surakarta. 
Kostum yang pernah dikenakan oleh grup legendaris Dara Puspita (dok. Hendra Wardhana).
Usai mendengarkan cerita tentang museum, saya meminta izin untuk melihat lebih banyak lagi koleksi yang ada. Satu demi satu rak dan lemari saya sisir. Beberapa nama penyanyi, grup vokal dan grup band saya kenali karena mereka masih eksis hingga kini atau setidaknya lagu-lagu mereka pernah akrab di telinga saya. Namun, satu nama yang paling saya cari tak juga ditemukan. Entah saya yang kurang teliti sehingga terlewatkan atau karena memang tidak ada di museum ini. 

“Ada KAHITNA nggak, Pak?”, tanya saya penasaran. “Oh, KAHITNA juga ada. Tapi kayanya masih di dalam”, jawab sang bapak dan saya pun kemudian diajak menuju ruangan lain di dalam museum tempat meletakkan kardus-kardus berukuran besar berisi kaset-kaset hasil sumbangan yang belum sempat ditata. Kemudian saya juga ditunjukkan kardus-kardus lain berisi kaset yang sedang dalam tahap pemeriksaan dan pencatatan sebelum dipajang. Begitu banyaknya koleksi sementara ruangan yang tersedia tidak terlalu luas sehingga tidak semua koleksi bisa dipajang bersamaan.

Tak hanya mengoleksi dan menyimpan material fisik berupa kaset, piringan hitam, dan CD, Museum Musik Indonesia juga memiliki koleksi dokumen berupa foto, buku, dan majalah lawas terkait musik, seni, dan hiburan. Beberapa judul yang ada seperti Aktuil, Variasi, Varia, Indah, dan Film. Koleksi lainnya yang cukup istimewa adalah kostum yang pernah dikenakan personel grup legendaris Dara Puspita. Di museum juga ada poster dan panel sejarah yang memuat profil musisi serta era perkembangan musik di Indonesia.
Puluhan kardus berisi ribuan kaset masih menunggu giliran untuk dipajang di museum (dok. Hendra Wardhana).
Lebih dari satu jam di Museum Musik Indonesia, diterima dengan ramah dan berbincang penuh keakraban membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang tempat ini. Rasanya belum puas mengurutkan satu demi satu nama yang tertulis di setiap koleksi yang ada di sana. Apalagi, saya juga belum melihat sendiri album KAHITNA dipajang karena masih terbenam di antara ribuan koleksi yang menunggu antrean untuk ditampilkan. Meskipun demikian, saya merasa beruntung dan bersyukur bisa menyimak sepenggal jejak musik Indonesia di museum ini. 
Ruang pamer Museum Musik Indonesia (dok. Hendra Wardhana).
Saya pun berpamitan dengan sang bapak meski beliau sebenarnya menawarkan saya untuk singgah lebih lama karena menurutnya sebentar lagi sang pengelola sekaligus “pentolan” museum akan datang. Tapi perjalanan saya sudah terlanjur terjadwal. Maka melangkahlah saya keluar.
***

Dua jam berlalu sejak meninggalkan Museum  Musik Indonesia, langkah saya kembali tertahan. Kali ini di sebuah tempat penjual kaset lawas di Jalan Juanda tak jauh dari Kampung Jodipan. Saya tidak sengaja menemukannya, bahkan sempat terlewati saat berjalan. Namun, saat mengetahui ada tempat menarik tersebut, saya segera mundur dan berbalik menghampiri.

“Ada kaset KAHITNA, Pak?”, tanya saya. “KAHITNA ada”, jawabnya antusias sambil mengambil tiga kaset KAHITNA, yaitu Sampai Nanti (1998), The Best of KAHITNA (2002), dan Cinta Sudah Lewat (2003). Melihatnya begitu cepat menemukan ketiga kaset KAHITNA, tampaknya ia sudah sangat hafal letak setiap kaset yang dijualnya.
Sumartono, penjual kaset bekas di Jl. Juanda, Kota Malang (dok. Hendra Wardhana).

Tiga kaset album lawas KAHITNA yang dijual Pak Sumartono (dok. Hendra Wardhana).
Mengetahui ada album KAHITNA membuat saya merasa senang sekaligus bangga. Saya pun memutuskan membeli salah satunya. “Pinten niki, Pak?”, tanya saya sambil mengambil Cinta Sudah Lewat. “Sepuluh ewu”, jawab sang penjual. Saya mencoba menawar meski saya tahu harga tersebut cukup wajar karena ini bukan kali pertama saya membeli kaset-kaset lawas KAHITNA di penjual pinggir jalan. 

Akhirnya saya menyetujui harga Rp10.000 untuk Cinta Sudah Lewat. Sambil menerima uang yang saya ulurkan, sang penjual bertanya, “Kenapa nggak semuanya sekalian?”.

“Saya sudah punya semuanya, Pak. Ini hanya untuk tambahan”. Mendengar jawaban saya sang bapak pun berkomentar. “Wah, sampeyan KAHITNA mania, ya?”

“Sekarang namanya soulmateKAHITNA, Pak”, jawab saya.

Tak disangka obrolan ringan di sela-sela transaksi jual beli Cinta Sudah Lewat membuat kami terlibat perbincangan lebih lanjut. Sang bapak kemudian mengenalkan diri sebagai “Onot”. Hampir saja saya terkecoh mempercayai itu nama sebenarnya. Beruntung ia langsung menyebutkan nama panjangnya yaitu “Sumartono”. Nama “Onot” adalah bahasa walikan dari nama pendeknya, “Tono”.

Pak Sumartono sudah berjualan kaset lawas sejak tahun 1990. Itu artinya hampir 27 tahun ia menjalani rutinitasnya merawat warisan musik. Ya, seski sering dianggap biasa bahkan mungkin tidak dianggap, tapi bagi saya orang-orang seperti Pak “Onot” adalah sosok yang berjasa. Mereka tak sekadar menjual kaset lawas, tapi juga telah ikut merawat musik dan masterpiece, terutama yang dilahirkan oleh para musisi tanah air. Tak jarang koleksi lawas yang langka bisa didapatkan dari tangan mereka. Semua album lama KAHITNA milik saya juga didapatkan dari penjual kaset lawas seperti Pak “Onot”.


Laki-laki 48 tahun itu mengaku banyak mendapatkan kaset lawas dari para kolektor di Malang. Dalam berjualan ia  mengelompokkan kaset lawas menjadi tiga kategori berdasarkan nama besar penyanyi dan kelangkaan kaset tersebut di pasar. Tiga kategori tersebut adalah katergori umum artinya masih banyak dijumpai dan harganya paling murah, kategori sedang yang jumlahnya sudah tidak banyak lagi dan harganya lebih tinggi, serta kategori langka untuk koleksi yang sudah sangat sulit ditemukan dan dihargai paling mahal. Saat saya bertanya KAHITNA ada di kategori apa, ia mengatakan kaset-kaset lawas KAHITNA termasuk kategori sedang. Ia juga menyebutkan bahwa kaset The Best adalah yang paling sering dicari di antara album-album lawas KAHITNA. “Karena sudah nggak keluar dan isinya campuran lagu-lagu lama”, terang Pak Sumartono menjelaskan alasannya.

Bertemu dengan Pak Sumartono adalah berkah bagi saya. Selain mendapatkan Cinta Sudah Lewat, saya juga bisa menyimak sepenggal cerita tentang Malang dalam peta musik tanah air. Menurutnya, meski pamor Malang kalah jauh dibanding Jakarta, Bandung dan Surabaya yang selama ini dikenal sebagai kiblat musik di Indonesia, namun kolektor musik lawas justru banyak berada di Malang. Lelaki yang tinggal di Kedungkandang, Kota Malang itu lalu menambahkan bahwa banyak orang dari luar kota datang ke Malang untuk mencari koleksi kaset lawas. “Penjual kaset yang dulu banyak di Malioboro juga dari sini koleksinya”, tegasnya.
Cinta Sudah Lewat (dok. Hendra Wardhana).
Hanya sekitar 25 menit saya bertatap muka dengan Pak Sumartono. Tapi itu cukup berkesan. Apalagi, ia menodong nomor ponsel saya. Dengan senang hati saya lalu memberikannya. Dan sebagai balasan ia pun menyebutkan nomor ponsel beserta alamat rumahnya.


Saya lalu pergi melanjutkan perjalanan. Pada langkah-langkah berikutnya tanpa sadar dalam hati saya saat itu bergumam, “kadang ingin aku bertemu dan berbagi waktu yang terlalui…sukar tuk sadari ku tak boleh mengingini...”.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk